Ini mungkin sudah ketiga kalinya Kuma menghelas napasnya sekuat itu sejak aku dan dia berada di ruang tengah setengah jam lalu. Ia menonton televisi –atau itu yang setidaknya terlihat olehku- dan terus menerus mengganti saluran. Ia memang jarang menonton TV, tepatnya, kami tidak pernah menggunakan TV plasma mewah ini dengan semestinya.
Aku sengaja bekerja di ruang tengah hanya untuk memastikan Kuma baik-baik saja. Sepanjang hari ini ia tidak bersemangat seperti biasanya. Bukannya aku mengkhawatirkannya, tapi kalau ada serangan artblock ketika Kuma sedang bad mood adalah hal yang sebaiknya dihindari! Ia bahkan tidak bisa mengontrol lensa-lensanya untuk menangkap cahaya yang dikeluarkan oleh Varuna –supaya artblock musnah.
“Hhhhh~~” ia menghela napas lagi.
Dengan wajah tertopang oleh tangan kiriku berlagak tidak peduli, aku terus mencari data tentang penyebaran artblock di internet. Huff~ kian hari kian banyak manusia yang terserang ‘virus’ seperti ini, ini jelas tidak baik. Aku memandang Varuna dan Vajra, mereka dalam bentuk konyol itu, tertidur di dekat lampu berornamen sulur khas Art Nouveau kesukaan ibu. Dari kekuatan merekalah aku dan Kuma mampu bekerja untuk menghapus artblock untuk Canvas Ranger. Hei menjadi hero tidak semudah itu, tau kan?
“Gangan, belom tidur?” tanya Kuma membuyarkan lamunanku.
Aku melirik ke arahnya, “Nanti. Aku belom ngantuk”
“Oh, ok.”
Aku sedikit terkejut dengan jawaban singkatnya. Biasanya ia akan menawarkan diri untuk membuat cemilan tengah malam yang berakhir dengan ramuan racun yang kadar NaOH-nya tinggi. Entah darimana dia dapet bahan itu.
“Mau kubuatin sesuatu?” tawarku.
Kuma menggeleng pelan. ”Lanjutin aja kerjaanmu”
Penasaran dengan sikap anehnya aku memberanikan diri untuk bertanya. Bukannya takut sih, tapi ini kan urusan dia yang seharusnya ga usah kucampuri. Aku menutup laptopku dan mengambil posisi di sofa seberang Kuma. Kuma yang melipat kakinya sambil memeluk bantal itu sedang sibuk memencet –hampir semua- tombol remot.
Aaaahhh!! Aku ga bisa!! Memulai percakapan itu susahnya minta ampuuunn, biarpun sama kakak sendiri! Gimana ya bilangnya?
Kuma dengan segera menyadari gerak gerikku yang aneh. “Kenapa?”
“Aaaa--- itu . . .”
“Kalo ga mau bilang ya udah. Mm~ Gan, boleh kutanya sesuatu?”
“Tentang apa?”
“Apa kamu pernah ngerasa kesepian?” tanya Kuma seraya membenarkan posisi bando yang ia gunakan untuk menyingkirkan poninya.
Aku tertegun sebentar. Seorang Kuma yang selalu ceria dan tanpa beban bisa melontarkan pertanyaan semacam itu.
Pertanyaan itu bukan pertanyaan yang bisa dengan mudah kujawab. Kami terlahir sebagai saudara kembar, yang selalu hidup bersama, mana mungkin aku ga ngerti perasaan itu. Perasaan yang dari dulu kupikir hanya milikku. Perasaan yang terus membuatku yakin bahwa rasa sepi itu adalah duniaku yang sebenarnya.
Kuma menatapku, kemudian melanjutkan omongannya. “Belakangan ini, temen-temenku –eh kita, sepertinya punya banyak masalah. Aku pengen banget ngebantu! Karena kupikir, kalo mereka kesepian, aku harusnya lebih tau rasa itu dibanding mereka. Kan Gangan juga kesepian . . .”
“Siapa yang kesepian??!” sergahku cepat.
“Situ kan yang kesepian hehe,” ujar Kuma dengan tampang ketawa ditahan sambil menunjuk ke arahku.
“Hhh!!” aku mendengus kesal. “Memahami perasaan orang lain bukan berarti kamu juga ngerasainnya Kuma!”
Kuma kembali mengalihkan pandangannya. “Itu juga yang kupikirin~ aku selalu berlagak sok tau, sok paling hebat untuk nyelesein masalah orang. Tapi setelah dipikir-pikir, aku mendingan jadi kek Ganesha, cuek, fokus sama apa yang dikerjain, ga gampang terpengaruh, dan selalu peduli sama diri sendiri aja.”
Glek. Yang terakhir itu loh Kumaaa!! Aku bukannya si egois yang selalu mementingkan apa-apa tentangku. Tapi aku terlalu takut untuk menganggap apa yang bukan milikku penting.
“Bukannya lebih enak jadi Kuma? Punya banyak temen, selalu ada kalo dibutuhin, selalu ngehibur orang yang lagi patah semangat?” ujarku panjang lebar.
Aku memang sedikit iri dengannya, dengan semua kecakapan sosialnya. Tapi aku tidak pernah menyangka bahwa menjadi sepertiku adalah apa yang ia inginkan.
“Tapi menjadi seperti ‘Kuma’ yang itu berat . . .” jawabnya sambil tersenyum pahit.
Aku kembali terkejut dengan perkataannya.
Aku tidak pernah memikirkan apa yang dirasakannya selama ini.
Aku tidak pernah tau apa yang ada di balik semua lelucon dan tawa yang ia buat setiap saat.
Kuma selalu terang-terangan bilang bahwa ia selalu memperhatikanku, membuatku risih setiap saat, karena ia dengan sukses membuat semua orang percaya bahwa ia brother complex –bukan aku!! Tapi ia tidak pernah mengatakannya pada orang lain ketika ia memperhatikan mereka. Ia selalu mengutamakan orang lain daripada dirinya sendiri.
Ia juga enggan menceritakan masalahnya kepadaku, sementara aku seringkali ‘terpaksa’ bercerita karena dipancing olehnya.
Kuma selalu memendam masalahnya sendirian.
Padahal itu yang selalu ia larang kepadaku. Apakah ia masih belum mampu mempercayai orang lain?
“Kuma . . . kuat ya~” gumamku.
Aku mulai mengerti perasaannya.
Seseorang yang selalu ada ketika kamu dalam kesulitan –dan bertingkah seakan dirinya tidak pernah punya masalah. Tapi siapa yang akan menghiburnya ketika ia sedang bersedih, sementara tidak ada satu orang pun yang tau kesedihan yang dialaminya.
Karena ia tidak mau –atau tidak mampu- membagi perasaannya dengan orang lain?
Tapi tanpa dikatakan pun seharusnya aku tau itu. Kuma selalu mengerti diriku, sedangkan aku menutup diri untuk tau tentang saudara kembarku, satu-satunya orang yang kumiliki saat ini. Ah~ ini bodoh sekali.
Bagaimanapun aku seharusnya selalu ada untuk Kuma, sebagaimana ia selalu hadir saat kubutuhkan. Apa gunanya kami terlahir sebagai saudara kembar kalau salah satunya tidak peduli dengan satu lainnya?
“Ku-Kuma . . kalo kamu ada masalah cerita aja . . aa –mulai sekarang, kalo kamu ngehibur orang pas mereka sedih, percayalah kalo aku yang bakal ngehibur kamu waktu kamu sedih . . juga—“
Aku menghentikan pidatoku yang udah bikin lidah kelu pas ngucapin, ketika suara dengkuran pelan itu terdengar. “. . . zzZZZ”
Eeergghhhh!!! Kumaaaaaaa~~!!!! Berani-beraninya tidur pas guwa ngucapin kata-kata yang bakal terucap seribu juta taun sekali dari mulut guwaaa!!
You will surely not see tomorrow sunrise!!!
No comments:
Post a Comment